Setahun yang lalu, aku bertemu
dengan seorang pemuda berkacamata yang masih mengenakan seragam putih abu-abu.
Aku masih ingat dengan jelas saat dia
memberanikan diri untuk mengirim sapaan padaku yang sedang duduk murung sendirian
dibangku taman kota. Taman yang tidak ramai seperti biasanya karena hujan baru saja reda
menjadi saksi pertemuan pertama, hari itu.
“Hujannya sudah reda, berhentiah menangis! Sekarang waktunya untuk
pelangi menghiasi langit” katanya, sok akrab. Aku menoleh namun tidak
membalasnya dengan reaksi apa-apa.
“Apa yang membuatmu sedih?” tanyanya. Masih dengan sikap sok akrab.
Aku menatapnya begitu lama, lalu kembali menangis.
“Patah hati? Huh! Aku tak percaya, seorang wanita bisa menjadi serapuh ini
hanya karena persoalan hati” katanya
sembari menyunggingkan senyum kecut lalu memperbaiki posisi duduk gagangan
hitam yang membingkai kedua matanya.
“Berhentilah berteriak meminta pelangi saat petir dan kilat masih
bergemuruh tanpa kemerduan sedikitpun dari berbagai penjuru langit hatiku, anak
kecil!” kataku, berdiri lalu berjalan pergi meninggalkannya tanpa permisi.
Toh, aku bukan peri yang bisa bersikap baik pada siapa saja saat tiap orang ramah
menghampiri.
Seminggu setelahnya, aku kembali
duduk pada bangku yang sama di taman kota yang langitnya mulai menjingga dipeluk
senja. Dan lagi aku bertemu dengan pemuda berkacamata itu. Kali ini dia tidak
seagresif minggu lalu, dia menghampiriku lalu menjulurkan tangan kanannya.
“Namaku Azar, pernah berkawan dengan petir dan kilat.. pun dengan
mendung dan hujan, namun tidak begitu akrab. Namaku Azar, seorang sahabat dari
sang pelangi. Dia mengajarkanku banyak hal, termasuk memberikan warna indah
pada langit menghitam yang kebanyakan orang menamainya mendung—sedih—dan
kepedihan”
Aku mendongak. Dia tersenyum,
kaku. Bukan karena aku menatapnya begitu tajam, namun karena uluran tangannya
tidak aku sambut.
“Kamu mengajakku kenalan?” cetusku.
“Aku tidak menyebutnya begitu. Aku enggan menyebutnya perkenalan, toh
aku sudah begitu lama mengenalmu tanpa kau tahu. Mari kita sepakati saja
sebagai—aku sedang mengajakmu menikmati pelangi” jawabnya.
“Apa yang kau janjikan jika aku bersedia menikmati pelangi bersamamu?
Huh? Kebahagiaan?” tanyaku lagi, masih dengan senyum ketus.
“Bukaan.. bukan kebahagiaan yang aku janjikan, namun hujan mereda-lah
yang akan aku berikan”
Ku gapai tangannya lalu ku
sebutkan namaku dengan lirihnya… “Zahrah..”
lalu ia tersenyum, “Nama yang bagus,
senang bisa mendengarnya langsung darimu”
Lima bulan berlalu, aku dan Azar
menjadi begitu menyatu. Banyak hal yang telah aku ketahui dari sosoknya yang
ternyata selama ini telah begitu mengenalku. Dan hari ini, masih di taman yang
sama.. aku kembali duduk pada bangku yang sama di taman kota yang begitu basah
tersapu gerimis beberapa saat yang lalu.
Kali ini aku tidak duduk sendiri, ada seorang pemuda berkacamata yang duduk disampingku menemani celotehanku tentang tugas kampusku yang semakin hari, semakin menjadi-jadi dan berhasil membuat kegaduhan di pikiranku. Dia mendengarkan dengan sangat khitmat, sesekali mengangguk dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan ringan tentang dunia kampus yang dua tahun lagi akan dia rasakan.
Kali ini aku tidak duduk sendiri, ada seorang pemuda berkacamata yang duduk disampingku menemani celotehanku tentang tugas kampusku yang semakin hari, semakin menjadi-jadi dan berhasil membuat kegaduhan di pikiranku. Dia mendengarkan dengan sangat khitmat, sesekali mengangguk dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan ringan tentang dunia kampus yang dua tahun lagi akan dia rasakan.
“Zar…” panggilku padanya yang sedang asik memotret langit dengan
lengkungan pelanginya.
“Ada apa?” jawabnya, masih dengan posisi memotret langit. Beberapa
kali dia tersenyum melihat hasil jepretanya lalu dengan bangga
memperlihatkannya padaku.
“Terimakasih sudah menepati janji” ucapku. Mendengarnya, dia
menghentikan kegiatan memotretnya lalu kembali duduk tepat disampingku.
“Ada apa?” dia kembali menanyakan hal yang sama dengan yang
sebelumnya ia tanyakan.
“Kamu pernah mengajakku menikmati pelangi bersama, kan? Lalu kau
janjikan sesuatu padaku jika aku meng-iya-kan. Dan kau benar-benar
menepatinya.. hujan yang deras dulu, kini sudah reda. Langit mendung itu, kini
menemukan mataharinya”
“Lalu… saat ini, sang matahari harus bagaimana?” dia lalu bertanya
lagi.
“Tetaplah bersinar dan jangan pergi kemana-mana” jawabku, dia
mengangguk lalu tersenyum. Aku begitu menyukai senyumannya. Aku enggan berkawan
dengan mendung kembali, saat sesimpul lengkungan itu ia berikan.
Dan hari ini, tepat setahun
pertemuan pertamaku dengannya di taman kota. Masih di tempat yang sama, suatu
sore yang menjingga. Ia kembali memotret dengan kamera yang ia punya.
Setelah menjepret beberapa bagian sudut taman, dia kembali duduk disampingku
yang sedari tadi memperhatikannya sambil tersenyum.
“Kamu terlihat sangat bahagia” katanya.
“Kamu menyadarinya?” tanyaku, sedikit salah tingkah telah
tertangkap begitu bahagia.
“Nilai kuliah dominan A?” sok tahunya. Aku terkekeh.
“Anak SMA jangan sok tahu deh” ku gapai rambutnya lalu ku acak
dengan kedua tanganku. Bibirnya menjadi begitu manyun dalam seketika.
“Berhentilah menganggapku anak kecil!” katanya, dengan suara yang
cukup keras, berhasil membuatku tercengang tidak percaya dia bisa
se-galak itu. Aku menunduk, menggigit kuku ibu jariku dan memilih diam membisu.
“Aku mencitaimu, jadi berhentilah menganggapku anak kecil” lanjutnya
dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Mendengarnya, aku kembali
tercengang. Lebih kaget dari sebelumnya.
“Ha?”
“Aku mencintaimu, maaf jika aku terlalu kecil untuk menyatakan hal ini
padamu”
Mendengarnya, aku hanya bisa
tertawa. Tidak percaya dan begitu tidak menyangka hari ini akan berkisah
tentang pengungkapan rasanya padaku. Tawaku begitu jahat, merontokkan kekokohan rasa percaya diri seorang anak SMA yang susah payah telah ia kumpulkan untuk hari ini.
“Dan ternyata, kau masih menganggapku anak kecil” katanya dengan
suara parau.
“Hey! Jangan menangis, laki-laki!” seruku, menahan tawa yang begitu
ingin meletup-letup.
“Jangan menganggapku anak kecil! Toh, aku bisa membahagiakanmu walau
aku tidak seumuran dengan mu. Aku bisa memberikanmu cinta walau umurku jauh
dibawahmu. Aku bisaa….”
“STOP! STOP anak kecil!” potongku, lalu kembali tertawa.
“Kau kira aku bahagia bersamamu, huh? Aku hanya merekayasa pelangi agar
kau terlihat seperti matahari pada mendungnya langitku. Aku ingin menunjukkan
padamu, kalau siapa saja bisa begitu rapuh hanya karena persoalan hati! Dan terbuktikan? Huh! jangan pernah menyepelekan masalah hati.. Selamat
menikmati hidangan pedihan ini, anak kecil. Terimakasih sudah bermain bersama,
setahun ini” kataku, lalu meninggalnya sendirian menunduk meratapi pilunya
hati.
Pun aku melangkah pergi sambil
kembali membalutkan perban pada luka hati yang diriku sendirilah yang
melebarkan sayatannya. Selamat tinggal anak kecil, selamat menikmati patah hati
karena berani mencintai. Aku hanya ingin kau rasakan apa yang setahun lalu kau remehkan.
Dua tahun setelah perjumpaan yang
cukup pedih itu. Aku kembali berjumpa dengannya, tidak lagi di taman yang sama.
Melainkan pada kampus yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Yah, dia kuliah
di Universitas yang sama denganku. Tatapan mataku bertemu langsung dengan matanya yang
berbingkai kacamata, ku palingkan pandangan namun dia mengampiriku lalu kembali
menjulurkan tangan kanannya.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“Baik-baik saja. Sangat baik” Jawabku, sekenanya.
“Bagaimana kabar hatimu?” aku kembali bertanya, cukup menodong.
“hatiku baik-baik saja walau masih begitu kosong. Jangan tanyakan
mengapa aku tidak mengisinya! Karena kamulah alasannya..” ujarnya sambil
tersenyum dan meninggalkanku dengan sebuah tepukan di pundakku. Lalu detak
jantungku menjadi semakin gaduh. Tatapanku menghantarnya pergi hingga badan
tegapnya tak terlihat lagi melangkah lurus di koridor. Ia tak pernah menoleh sekalipun. Aku tersenyum, lalu
melangkah pergi berlawanan arah darinya.
Ada yang ku rasakan berbeda dan tak lagi sama. Entah
mengapa air mataku kembali menetes setelah sekian lama tanpa kabar. Aku
melangkah gontai dan ku rasakan sebuah genggaman dari arah belakang menarik
tanganku hingga badanku bertumpu dalam peluknya.
“Berhentilah berpura-pura tidak menginginkanku, hei orang dewasa!” bisiknya.
Aku menangis sekencang-kencangnya dalam pelukan seseorang yang begitu aku
rindukan. Ada banyak kalimat yang ingin aku lontarkan namun aku tak bisa. Ku
peluknya dengan erat.
“Aku mencintaimu, lelaki kecil” kataku penuh isak. Lalu ku rasakan
tubuhku semakin tenggelam dalam pelukannya.
“Tetaplah disini, jangan kemana-mana lagi!” lalu ia mengecup
keningku. Aku tersenyum. Andai sejak dulu detak jantung ini menggebu. Ah,
terimakasih masa lalu. Kini kau membuat jatuh cinta adalah hal yang begitu
candu –antara dia dan aku.
Saat ini, aku kembali memiliki keberanian untuk jatuh cinta. Aku siap patah hati lagi? emm.. Lebih tepatnya, aku siap membingkai pelangi sang lelaki kecilku agar selalu memberi keindahan pada langit yang tidak selamanya akan nampak cerah seperti saat ini.
Saat ini, aku kembali memiliki keberanian untuk jatuh cinta. Aku siap patah hati lagi? emm.. Lebih tepatnya, aku siap membingkai pelangi sang lelaki kecilku agar selalu memberi keindahan pada langit yang tidak selamanya akan nampak cerah seperti saat ini.
bagus kak, tapi waktunya berasa lompat2. atau sengaja dibikin gitu ya?
BalasHapustetep bagus tapi ^^
hahaha iya, sengaja~ kalo enggak kayak gitu, bisa jadi novel ntar, kepanjangan -___-v hahaha
Hapusterimakasih, sudah membaca :)
sweet deh :') cinta lama yang bertemu lagi gitu ya ?
BalasHapushahaha iya, disatu sisi begitu :)))
Hapusterimakasih sudah membaca :)
Hih! Si azhar belom kenalan udah sok-sok puitis. Anak mana sih dia! Hih..
BalasHapusHahaha.. Ini cerpen atau pengalaman pribadi hayoooo.. :p
hahahaha kak Ewrikkkk :)))
Hapusfiksi kok kak, kan ada labelnya :p
Ini ceritanya nyata yah? Tapi bahasa percakapannya agak puitis gitu? disengaja ato memang kenyataannya gitu?
BalasHapusOom Gubiiii... Oom Gubiii ini fiksi kok Oom Gubi x)) hahahah
HapusAh, kamu. Nyebut-nyebut nama gue, entar jatuh cinta tau rasa :)
Hapushahaha nge-brondong ya, kak? :p
BalasHapusiya nih, Nim :))
Hapuswah endingnya asik.
BalasHapushatinya dah gak kosong lagi dong ^ ^
iyah kak, ceritanya sih begitu hehehe
Hapusterimakasih sudah membaca :)
:V ninggalinnn jejak aja ah~ gak mau komentar .. #kabur bur kaburr
BalasHapuslah trus ini namanya apaa??!! -_____-
Hapusyah, suka sama anak kecil padahal dulunya gitu, sekarang akhirynya mauuu..gitu ya akhirnya kan?? tapi keren lho jalan pikiranmu bikin ini..tulisanmu keren dan bahasanya mengalir..aku suka!
BalasHapushahaha iya kak.. dulunya ga suka, tapi ujung2nya kecantol jugak -___-
Hapushehehe terimakasih kak Mey sudah membaca :)
ahaaaa...ceritanya bagus banget Shry, diksinya bagus kamu pinter pilih kata hehehe
BalasHapusumur seseorang tidak menentukan kedewasaan kok
yah. terkadang orang yg kita anggap "masih keci" itu malah justru bisa mendewasakan kita, yeyeye
ini murni cerpen atau pengalaman pribadi?
soalnya dlu aku pernah punya pacar yg umurnya di bawahku tapi dia nyakitin hehehe
masih belajar dan akan terus belajar kak biar pemilihan katanya makin aseloleh :)))
Hapusehmmm.. anu.. anuu.. ada UFOOO KAK ADA UFOOOO!
kalo jawabnya UFO berarti ini pengalaman pribadimu muahahahhahaaa
Hapushahaha pengaalaman pribadi sama Iqbaale Coboy Junior nih, Kak :| jangan dibocorin yakkk :3
Hapusceritanya simple, tapi maknanya dalem. gampang dimengerti dan dicerna.
BalasHapuskadang kita akan menemukan seseorang yang mengajarkan kita bagaimana cara melewati hari-hari dengan cerah. walupun orang yang mengajarkan kehidupan itu gak selalu lebih tua. karena katanya yang tua lebih kenyang makan asam garam. tapi umur hanya angka, pemikiran bijak gak semua orang punya.
Yoihhh kak Haris.. kadang umur enggak membatasi pemikiran kita untuk bisa menjadi dewasa dalam suatu hal. asekk :)))
Hapusterimakasih kak sudah membaca :)
Kejedot cintanya brondong. :p
BalasHapusFiksi yang asyik. Semangat nulis terus ya:D
hahaha iya kak Lin... terimakasih kak sudah membaca :)
Hapusaaah, ini fiksinya seru banget. pemilihan diksinya oke banget.
BalasHapusharus belajar dari kaak :D