/

Selasa, 28 Januari 2014

Lelaki Kecil dengan Pelanginya

Setahun yang lalu, aku bertemu dengan seorang pemuda berkacamata yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Aku masih  ingat dengan jelas saat dia memberanikan diri untuk mengirim sapaan padaku yang sedang duduk murung sendirian dibangku taman kota. Taman yang tidak ramai seperti biasanya karena hujan baru saja reda menjadi saksi pertemuan pertama, hari itu.

“Hujannya sudah reda, berhentiah menangis! Sekarang waktunya untuk pelangi menghiasi langit” katanya, sok akrab. Aku menoleh namun tidak membalasnya dengan reaksi apa-apa.

“Apa yang membuatmu sedih?” tanyanya. Masih dengan sikap sok akrab. Aku menatapnya begitu lama, lalu kembali menangis.

“Patah hati? Huh! Aku tak percaya, seorang wanita bisa menjadi serapuh ini hanya karena persoalan hati”  katanya sembari menyunggingkan senyum kecut lalu memperbaiki posisi duduk gagangan hitam yang membingkai kedua matanya.

“Berhentilah berteriak meminta pelangi saat petir dan kilat masih bergemuruh tanpa kemerduan sedikitpun dari berbagai penjuru langit hatiku, anak kecil!” kataku, berdiri lalu berjalan pergi meninggalkannya tanpa permisi. Toh, aku bukan peri yang bisa bersikap baik pada siapa saja saat tiap orang ramah menghampiri.



Seminggu setelahnya, aku kembali duduk pada bangku yang sama di taman kota yang langitnya mulai menjingga dipeluk senja. Dan lagi aku bertemu dengan pemuda berkacamata itu. Kali ini dia tidak seagresif minggu lalu, dia menghampiriku lalu menjulurkan tangan kanannya.

“Namaku Azar, pernah berkawan dengan petir dan kilat.. pun dengan mendung dan hujan, namun tidak begitu akrab. Namaku Azar, seorang sahabat dari sang pelangi. Dia mengajarkanku banyak hal, termasuk memberikan warna indah pada langit menghitam yang kebanyakan orang menamainya mendung—sedih—dan kepedihan”

Aku mendongak. Dia tersenyum, kaku. Bukan karena aku menatapnya begitu tajam, namun karena uluran tangannya tidak aku sambut.

“Kamu mengajakku kenalan?” cetusku.

“Aku tidak menyebutnya begitu. Aku enggan menyebutnya perkenalan, toh aku sudah begitu lama mengenalmu tanpa kau tahu. Mari kita sepakati saja sebagai—aku sedang mengajakmu menikmati pelangi” jawabnya.

“Apa yang kau janjikan jika aku bersedia menikmati pelangi bersamamu? Huh? Kebahagiaan?” tanyaku lagi, masih dengan senyum ketus.

“Bukaan.. bukan kebahagiaan yang aku janjikan, namun hujan mereda-lah yang akan aku berikan”
Ku gapai tangannya lalu ku sebutkan namaku dengan lirihnya… “Zahrah..” lalu ia tersenyum, “Nama yang bagus, senang bisa mendengarnya langsung darimu”

Lima bulan berlalu, aku dan Azar menjadi begitu menyatu. Banyak hal yang telah aku ketahui dari sosoknya yang ternyata selama ini telah begitu mengenalku. Dan hari ini, masih di taman yang sama.. aku kembali duduk pada bangku yang sama di taman kota yang begitu basah tersapu gerimis beberapa saat yang lalu.

Kali ini aku tidak duduk sendiri, ada seorang pemuda berkacamata yang duduk disampingku menemani celotehanku tentang tugas kampusku yang semakin hari, semakin menjadi-jadi dan berhasil membuat kegaduhan di pikiranku. Dia mendengarkan dengan sangat khitmat, sesekali mengangguk dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan ringan tentang dunia kampus yang dua tahun lagi akan dia rasakan.

“Zar…” panggilku padanya yang sedang asik memotret langit dengan lengkungan pelanginya.

“Ada apa?” jawabnya, masih dengan posisi memotret langit. Beberapa kali dia tersenyum melihat hasil jepretanya lalu dengan bangga memperlihatkannya padaku.

“Terimakasih sudah menepati janji” ucapku. Mendengarnya, dia menghentikan kegiatan memotretnya lalu kembali duduk tepat disampingku.

“Ada apa?” dia kembali menanyakan hal yang sama dengan yang sebelumnya ia tanyakan.

“Kamu pernah mengajakku menikmati pelangi bersama, kan? Lalu kau janjikan sesuatu padaku jika aku meng-iya-kan. Dan kau benar-benar menepatinya.. hujan yang deras dulu, kini sudah reda. Langit mendung itu, kini menemukan mataharinya”

Lalu… saat ini, sang matahari harus bagaimana?” dia lalu bertanya lagi.

“Tetaplah bersinar dan jangan pergi kemana-mana” jawabku, dia mengangguk lalu tersenyum. Aku begitu menyukai senyumannya. Aku enggan berkawan dengan mendung kembali, saat sesimpul lengkungan itu ia berikan.

Dan hari ini, tepat setahun pertemuan pertamaku dengannya di taman kota. Masih di tempat yang sama, suatu sore yang menjingga. Ia kembali memotret dengan kamera yang ia punya. Setelah menjepret beberapa bagian sudut taman, dia kembali duduk disampingku yang sedari tadi memperhatikannya sambil tersenyum.

“Kamu terlihat sangat bahagia” katanya.

“Kamu menyadarinya?” tanyaku, sedikit salah tingkah telah tertangkap begitu bahagia.

“Nilai kuliah dominan A?” sok tahunya. Aku terkekeh.

“Anak SMA jangan sok tahu deh” ku gapai rambutnya lalu ku acak dengan kedua tanganku. Bibirnya menjadi begitu manyun dalam seketika.

“Berhentilah menganggapku anak kecil!” katanya, dengan suara yang cukup keras, berhasil membuatku tercengang tidak percaya dia bisa se-galak itu. Aku menunduk, menggigit kuku ibu jariku dan memilih diam membisu.

“Aku mencitaimu, jadi berhentilah menganggapku anak kecil” lanjutnya dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. Mendengarnya, aku kembali tercengang. Lebih kaget dari sebelumnya.

“Ha?”

“Aku mencintaimu, maaf jika aku terlalu kecil untuk menyatakan hal ini padamu”

Mendengarnya, aku hanya bisa tertawa. Tidak percaya dan begitu tidak menyangka hari ini akan berkisah tentang pengungkapan rasanya padaku. Tawaku begitu jahat, merontokkan kekokohan rasa percaya diri seorang anak SMA yang susah payah telah ia kumpulkan untuk hari ini.

“Dan ternyata, kau masih menganggapku anak kecil” katanya dengan suara parau.

“Hey! Jangan menangis, laki-laki!” seruku, menahan tawa yang begitu ingin meletup-letup.

“Jangan menganggapku anak kecil! Toh, aku bisa membahagiakanmu walau aku tidak seumuran dengan mu. Aku bisa memberikanmu cinta walau umurku jauh dibawahmu. Aku bisaa….”

“STOP! STOP anak kecil!” potongku, lalu kembali tertawa.

“Kau kira aku bahagia bersamamu, huh? Aku hanya merekayasa pelangi agar kau terlihat seperti matahari pada mendungnya langitku. Aku ingin menunjukkan padamu, kalau siapa saja bisa begitu rapuh hanya karena persoalan hati! Dan terbuktikan? Huh! jangan pernah menyepelekan masalah hati.. Selamat menikmati hidangan pedihan ini, anak kecil. Terimakasih sudah bermain bersama, setahun ini” kataku, lalu meninggalnya sendirian menunduk meratapi pilunya hati.

Pun aku melangkah pergi sambil kembali membalutkan perban pada luka hati yang diriku sendirilah yang melebarkan sayatannya. Selamat tinggal anak kecil, selamat menikmati patah hati karena berani mencintai. Aku hanya ingin kau rasakan apa yang setahun lalu kau remehkan.

Dua tahun setelah perjumpaan yang cukup pedih itu. Aku kembali berjumpa dengannya, tidak lagi di taman yang sama. Melainkan pada kampus yang sebentar lagi akan aku tinggalkan. Yah, dia kuliah di Universitas yang sama denganku. Tatapan mataku bertemu langsung dengan matanya yang berbingkai kacamata, ku palingkan pandangan namun dia mengampiriku lalu kembali menjulurkan tangan kanannya.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.

“Baik-baik saja. Sangat baik” Jawabku, sekenanya.

“Bagaimana kabar hatimu?” aku kembali bertanya, cukup menodong.

“hatiku baik-baik saja walau masih begitu kosong. Jangan tanyakan mengapa aku tidak mengisinya! Karena kamulah alasannya..” ujarnya sambil tersenyum dan meninggalkanku dengan sebuah tepukan di pundakku. Lalu detak jantungku menjadi semakin gaduh. Tatapanku menghantarnya pergi hingga badan tegapnya tak terlihat lagi melangkah lurus di koridor. Ia tak pernah menoleh sekalipun. Aku tersenyum, lalu melangkah pergi berlawanan arah darinya. 

Ada yang ku rasakan berbeda dan tak lagi sama. Entah mengapa air mataku kembali menetes setelah sekian lama tanpa kabar. Aku melangkah gontai dan ku rasakan sebuah genggaman dari arah belakang menarik tanganku hingga badanku bertumpu dalam peluknya.

“Berhentilah berpura-pura tidak menginginkanku, hei orang dewasa!” bisiknya. Aku menangis sekencang-kencangnya dalam pelukan seseorang yang begitu aku rindukan. Ada banyak kalimat yang ingin aku lontarkan namun aku tak bisa. Ku peluknya dengan erat.

“Aku mencintaimu, lelaki kecil” kataku penuh isak. Lalu ku rasakan tubuhku semakin tenggelam dalam pelukannya.

“Tetaplah disini, jangan kemana-mana lagi!” lalu ia mengecup keningku. Aku tersenyum. Andai sejak dulu detak jantung ini menggebu. Ah, terimakasih masa lalu. Kini kau membuat jatuh cinta adalah hal yang begitu candu –antara dia dan aku.

Saat ini, aku kembali memiliki keberanian untuk jatuh cinta. Aku siap patah hati lagi? emm.. Lebih tepatnya, aku siap membingkai pelangi sang lelaki kecilku agar selalu memberi keindahan pada langit yang tidak selamanya akan nampak cerah seperti saat ini. 





26 komentar:

  1. bagus kak, tapi waktunya berasa lompat2. atau sengaja dibikin gitu ya?
    tetep bagus tapi ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya, sengaja~ kalo enggak kayak gitu, bisa jadi novel ntar, kepanjangan -___-v hahaha

      terimakasih, sudah membaca :)

      Hapus
  2. sweet deh :') cinta lama yang bertemu lagi gitu ya ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya, disatu sisi begitu :)))
      terimakasih sudah membaca :)

      Hapus
  3. Hih! Si azhar belom kenalan udah sok-sok puitis. Anak mana sih dia! Hih..

    Hahaha.. Ini cerpen atau pengalaman pribadi hayoooo.. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha kak Ewrikkkk :)))

      fiksi kok kak, kan ada labelnya :p

      Hapus
  4. Ini ceritanya nyata yah? Tapi bahasa percakapannya agak puitis gitu? disengaja ato memang kenyataannya gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oom Gubiiii... Oom Gubiii ini fiksi kok Oom Gubi x)) hahahah

      Hapus
    2. Ah, kamu. Nyebut-nyebut nama gue, entar jatuh cinta tau rasa :)

      Hapus
  5. hahaha nge-brondong ya, kak? :p

    BalasHapus
  6. wah endingnya asik.
    hatinya dah gak kosong lagi dong ^ ^

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyah kak, ceritanya sih begitu hehehe

      terimakasih sudah membaca :)

      Hapus
  7. :V ninggalinnn jejak aja ah~ gak mau komentar .. #kabur bur kaburr

    BalasHapus
  8. yah, suka sama anak kecil padahal dulunya gitu, sekarang akhirynya mauuu..gitu ya akhirnya kan?? tapi keren lho jalan pikiranmu bikin ini..tulisanmu keren dan bahasanya mengalir..aku suka!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya kak.. dulunya ga suka, tapi ujung2nya kecantol jugak -___-

      hehehe terimakasih kak Mey sudah membaca :)

      Hapus
  9. ahaaaa...ceritanya bagus banget Shry, diksinya bagus kamu pinter pilih kata hehehe
    umur seseorang tidak menentukan kedewasaan kok
    yah. terkadang orang yg kita anggap "masih keci" itu malah justru bisa mendewasakan kita, yeyeye
    ini murni cerpen atau pengalaman pribadi?
    soalnya dlu aku pernah punya pacar yg umurnya di bawahku tapi dia nyakitin hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih belajar dan akan terus belajar kak biar pemilihan katanya makin aseloleh :)))

      ehmmm.. anu.. anuu.. ada UFOOO KAK ADA UFOOOO!

      Hapus
    2. kalo jawabnya UFO berarti ini pengalaman pribadimu muahahahhahaaa

      Hapus
    3. hahaha pengaalaman pribadi sama Iqbaale Coboy Junior nih, Kak :| jangan dibocorin yakkk :3

      Hapus
  10. ceritanya simple, tapi maknanya dalem. gampang dimengerti dan dicerna.

    kadang kita akan menemukan seseorang yang mengajarkan kita bagaimana cara melewati hari-hari dengan cerah. walupun orang yang mengajarkan kehidupan itu gak selalu lebih tua. karena katanya yang tua lebih kenyang makan asam garam. tapi umur hanya angka, pemikiran bijak gak semua orang punya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yoihhh kak Haris.. kadang umur enggak membatasi pemikiran kita untuk bisa menjadi dewasa dalam suatu hal. asekk :)))

      terimakasih kak sudah membaca :)

      Hapus
  11. Kejedot cintanya brondong. :p
    Fiksi yang asyik. Semangat nulis terus ya:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya kak Lin... terimakasih kak sudah membaca :)

      Hapus
  12. aaah, ini fiksinya seru banget. pemilihan diksinya oke banget.
    harus belajar dari kaak :D

    BalasHapus