Hari ini aku bertemu dengan
seorang Nenek pemulung yang badannya sudah tidak mampu menopang tiap beban
pikul yang ia gendong di pundaknya. Mengais rezeki dengan mengaduk-ngaduk tempat
sampah demi mecari sesuatu berharga yang bisa ia jual demi sesuap nasi. Tangan
yang nampak kurus dengan hiasan keriput itu dengan jeli memilah sampah demi
sampah tanpa mengenal jijik. Rambut yang sepenuhnya telah berwarna putih, kebaya
sederhana yang coraknya sudah mulai luntur termakan jaman, bawahan sarung
dengan banyak robekan dibeberapa bagiannya, serta sebuah karung besar-pun setia
menemani langkah gontainya.
Pada istirahatnya disuatu siang, tepat di sudut sebuah bak sampah besar ia menyandarkan diri dan meneduh dari sorot tajam pancaran sinar matahari. Aku, dengan dahaga yang berapi-api setelah seharian kuliah-pun membeli sebuah minum di sebuah warung beberapa meter dari tempat si nenek tersebut menghilangkan letih. Ku pandangi dia.. dan fikiranku kemudian menerawang jauh…
Jika aku menjadi nenek pemulung
tersebut..
Apakah aku kuat melangkahkan kaki
dengan beban berat dipunggung? Apakah aku mampu memikul pedihnya nasib, tiap
hari mengais sampah hanya untuk mencari sesuap nasi? Apakah aku masih bisa
bersyukur jika hanya diberikan rezeki yang amat sangat jauh dari kata cukup?
Apakah aku bisa tiap hari berhubungan karab dengan sinar matahari atau hujan
yang tidak mengenal lelahku memilah sampah??
Ku langkahkan kakiku mendekati
Nenek itu. Dengan sebuah minuman botol dan sebungkus roti aku memberanikan diri
mendekatinya.
(percakapan sebenarnya adalah
menggunakan bahasa Bugis)
“Nek… Ini sedikit pengganjal perut, diterima yah…” ucapku, takut. Takut
kalo si Nenek merasa tersinggung, atau takut kalo si Nenek menyangkaku orang
jahat yang akan meracuninya.. haah, betapa dangkalnya ketakutanku.
Si Nenek menatapku sejenak
kemudian tersenyum. Nampak sangat jelas lelah yang terpancar dari sorot matanya.
“Tidak usah nak!! Makanlah! Kamu pasti
sedang lapar setelah kuliah” ucapnya pelan, membuatku hampir meneteskan air
mata.
“Saya sudah makan, Nek. Ini Nenek makan saja!! Saya ikhlas kok” ucapku sambil menyodorkan
sebotol air dan sebuah roti untuknya. Si nenek menerimanya, “Terimakasih, Nak”
Si Nenek makan dengan sangat
lahapnya. Dikunyahnya dengan pelan roti tersebut, aku menatap jauh ke dalam
sorot matanya yang sudah tidak bersinar tajam itu.
“Nek, suami dan anak-anak-nya mana??” tanyaku.
“pergi…” jawabnya singkat.
“Maksudnya?” tanyaku polos.
“Suami nenek sudah meninggal. Anak-anak nenek pergi.. tidak ada yang
terima nenek.” Jelasnya.
Mata penuh kelelahan itu tiba-tiba ber-air. Nampak kesedihan yang teramat sangat dari si Nenek. Setelah itu, aku tidak memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam lagi. Cukuplah letih yang dirasakan Si Nenek. Jangan aku menambahnya dengan mengorek luka yang ada di hatinya.
Mata penuh kelelahan itu tiba-tiba ber-air. Nampak kesedihan yang teramat sangat dari si Nenek. Setelah itu, aku tidak memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam lagi. Cukuplah letih yang dirasakan Si Nenek. Jangan aku menambahnya dengan mengorek luka yang ada di hatinya.
Jika aku menjadi Si nenek..
Mampukah aku menjalani beratnya
hidup, sendiri?
Ditinggal sendiri oleh
orang-orang terkasih. Suami yang sangat dicintai pergi karena terenggut maut.
Anak-anak yang telah dibesarkan susah payah-pun meninggalkan karena tidak ingin
direpotkan. Betapa mereka tidak mengenal yang namanya ‘Cinta’ dan balas budi
pada orang tua sendiri.
Pada ujung lamunanku, si nenek
menepuk bahuku. ”Anak gadis jangan suka
menghayal. Nenek lanjut jalan dulu. Terimakasih makanan dan minumannya. Semoga
Allah membalas kebaikanmu. Kamu kuliah, jauh dari orangtua… jangan macam-macam!!
Jaga selalu kepercayaan orangtua. Dan ingat, kalo sudah sukses, jangan lupa
sama orang tua!” ucap si Nenek lalu mengangkat karung yang baru berisi
setengah tersebut. Aku hanya bisa mengucapkan ‘terimakasih’, sebuah kata dengan
sejuta makna.
“Terimakasih Nek, untuk pelajaran berharga hari ini. Jika aku menjadi Nenek, aku tidak yakin akan menjadi se-tegar Nenek”
Semoga jadi nenek-nenek... #eh, salah.
BalasHapusMaksudnya semoga bisa setegar nenek-nenek yang tadi, ya! Soalnya neneknya sudah banyak nasehat masa dinasehati lagi? Hehehe...
Semoga bisa jadi orang sukses di kemudian hari biar bisa membantu nenek nenek dan yang membutuhkan lainnya. dari sekerat roti dan air mineral bisa jadi bantuan yang lebih besar :D
BalasHapusiya,,pelajaran bisa dapet dari mana aja....:D
BalasHapusMakasih ya, pelajaran juga ini buat saya. Belum tentu bisa setegar nenek itu. :)
BalasHapusnenek-nenek emang gitu si, di kampung saya ada nenek kata dia kalo ga kerja ga enak badan, emang aneh tapi itulah mereka selalu bekerja sepenuh hati, dan masih banyak pelajaran yang kita dapat dari mereka "nenek-nenek"
BalasHapusceritanya simple tapi bikin tersentuh. Gak kebayang gimana jahatnya anak nenek itu, gak tahu apa yang namanya balas budi. Ternyata kalo care sry sama orang sekitar. Keren
BalasHapusItu anaknya sinenek rasanya ingin tak jitak wae.
BalasHapusSedih bgt ya, nenek itu hidup sendirian. Gak ngebayangin :'(
kak sry hebat ya care sama orang lain. Salut
ditempatku jg bnyk orang2 yg nelantarin orang tuanya...
BalasHapuskarna udah tua dan sakit2an..
heran sekali..kenapa sampai setega itu...
semua yg kita jumpai bs kita jadikan pelajaran...
Salut sama kamu... :)
Waaah jleb banget...
BalasHapusIya, nenek memang hebat...
Dia berusaha bertahan hidup dengan menggendong karung...
sendirian ..
Gue jadi trenyuh :(
kasian bgt si nenek. Seharusnya seusia beliau hidupnya santai menikmati sisa hidup. Bersama anak cucu. Smoga nenek dikasi semangat trus buat menjalani hidup
BalasHapusKata-kata siNenek begitu menyeentuh..
BalasHapuslebih menyentuh daripada kata-kata Mario teguh..
MasyaAllah, jadi terharu...
BalasHapus